A. Pendahuluan
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD harus memperhatikan kebutuhan anak yang berusia antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun menurut Piaget (1963) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada tingkatan kongkrit operasional. Mereka memandang dunia dalam keseluruhan yang utuh, dan menganggap tahun yang akan sebagai waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang (kongkrit), dan bukan masa depan yang belum mereka pahami (abstrak). Padahal bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity), arah mata angin, lingkungan, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan, atau kelangkaan adalah konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD.




Berbagai cara dan teknik pembelajaran dikaji untuk memungkinkan konsep-konsep abstrak itu dipahami anak. Bruner (1978) memberikan pemecahan berbentuk jembatan bailey untuk mengkongkritkan yang abstrak itu dengan enactive, iconic, dan symbolic melalui percontohan dengan gerak tubuh, gambar, bagan, peta, grafik, lambing, keterangan lanjut, atau elaborasi dalam kata-kata yang dapat dipahami siswa. Itulah sebabnya IPS SD bergerak dari yang kongkrit ke yang abstrak dengan mengikuti pola pendekatan lingkungan yang semakin meluas (expanding environment approach) dan pendekatan spiral dengan memulai dari yang mudah kepada yang sukar, dari yang sempit menjadi lebih luas, dari yang dekat ke yang jauh, dan seterusnya : dunia-negara tetangga-negara-propinsi-kota/kabupaten-kecamatan-kelurahan/desa-RT/RW-tetangga-keluarga-Aku.
B. Tujuan Pembelajaran
Mata Pelajaran IPS di SD berfungsi untuk menguasai konsep dan manfaat IPS dalam kehidupan sehari-hari serta untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah serta bertujuan :
a) Menanamkan pengetahuan dan konsep-konsep sosial yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
b) Menanamkan rasa ingin tahu dan sikap positif terhadap sosial masyarakat, informasi dan teknologi.
c) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
d) Ikut serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
e) Mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan dan teknologi dan masyarakat.
f) Menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
C. Permasalahan
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada suatu pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan yang diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika siswa “mengalami” apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahui” apa yang dipelajari. (Diknas : 2004).
Dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) seringkali guru melakukan pengajaran yang modelnya satu arah. Guru cenderung lebih memberikan informasi atau cerita tentang pengetahuan IPS. Pengajaran dengan model seperti itu menyebabkan siswa tidak termotivasi untuk belajar IPS. Belajar penerimaan kurang bermakna bagi siswa. Banyak siswa yang menganggap IPS sebagai pelajaran yang hafalan. Mereka harus mengingat-ingat informasi atau penjelasan guru dan menceritakannya kembali pada waktu ulangan atau ujian.
Siswa yang mempelajari IPS melalui pengalaman langsung akan lebih dapat menghayati pelajaran IPS. Umpamanya melalui pengamatan tentang keragaman budaya bangsa Indonesia yang Berbennika Tunggal Ika, siswa menemukan fakta bahwa budaya bangsa Indonesia beraneka ragam jenisnya baik budaya kesenian, lagu-lagu, rumah adat, adat istiadat, dsb. Bila fakta mengenai hal tersebut dibiarkan begitu saja terlepas-lepas, maka pengetahuan siswa tentang budaya bangsa yang pluralisme kurang bermakna. Bila siswa diajak mendiskusikan peran budaya bangsa yang pluralisme dalam kelangsungan berbangsa dan bernegara, maka budaya bangsa tetap eksis dan dapat bertahan di tengan globalisasi tehnologi dan informasi. Dengan demikian secara umum membekalinya tentang bagaimana cara mempertahankan kelestarian jbudaya bangsa yang pluralisme
Untuk maksud itu dan menghindari kesan hafalan, dalam pelajaran IPS bisa kita bahas memberikan peluang sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk memahami IPS dengan bentuk dan cara-cara belajar mengajar yang berorientasi kepada hakekat, ciri dan nilai-nilai IPS itu sendiri. Oleh karena itu kita sebagai guru IPS harus benar-benar memahami tentang hakekat, ciri-ciri dan nilai-nilai IPS.
Kenyataan telah membuktikan, pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi “mengingat” dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan inilah yang selama ini terjadi di kelas-kelas sekolah kita.
Dan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dari seorang guru selaku manager dan fasilitator (mediator) di kelas bahwa siswa akan lebih mudah memahami suatu prinsip dan konsep IPS jika dalam belajar siswa dapat menggunakan sebanyak mungkin indera untuk berinteraksi dengan isis pembelajaran, sebagaimana digambarkan dalam bagan di bawah ini :
Dari kerucut pengalaman belajar, diketahui bahwa siswa akan mencapai hasil belajar
10 % dari apa yang dibaca,
20 % dari apa yang didengar,
30 % dari apa yang dilihat,
50 % dari apa yang dilihat dan didengar,
70 % dari apa yang dikatakan dan
90 % dari apa yang dikatakan dan dilakukan.
D. Penyelesaian
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa model pembelajaran dengan pendekatan CTL. Dengan melihat pemetaan materi IPS di SD ternyata banyak sekali penguasaaan Kompetensi Dasar oleh siswa dengan pendekatan CTL. Sehingga dengan pembelajaran IPS melalui pendekatan CTL ini akan bisa meningkatkan kualitas pembelajaran sebagai pangkal dari kualitas pendidikan secara umum melalui indikator pencapaian hasil belajar siswa yang maksimal.
Dengan pendekatan CTL pada Mapel IPS akan terbukti keaktifan siswa lebih optimal sehingga penguasaan konsep akan bermakna karena siswa memadukan semua unsur belajar dengan segenap inderanya. Dan itu terkesan jauh dari dunia hafalan dan mengingat, tetapi siswa akan benar-benar terlibat secara aktif, suasana hidup menyenangkan.
Penanaman konsep-konsep IPS di SD dengan benar dan tepat akan berpengaruh terhadap penguasaan materi IPS di tingkat selanjutnya. Oleh karena itu perlu suatu metode dan pendekatan yang tepat dalam pembelajaran. Metode dibedakandari pendekatan. Pendekatan lebih menekankan pada strategi dalam perencanaannya, sedangkan metode lebih menekankan pada teknik pelaksanaannya. Suatu pendekatan yang direncanakan mungkin mencakup beberapa metode pada pelaksanaannya adalah pendekatan CTL ini.
Kegiatan dan strategi yang ditampilkan pembelajaran CTL ini, khususnya mata pelajaran IPS dapat berupa kombinasi dari kegiatan berikut :
Pembelajaran Otentik (authentic instruction),
Pembelajaran Berbasis Inkuiri (inquiry – based learning),
Pembelajaran Berbasis Masalah (problem–based learning),
Pembelajaran layanan (service learning) dan
pembelajaran berbasis kerja (work-based learning).
Pelaksanaan CTL dalam KBM di kelas diwujudkan dengan penerapan 7 komponen utama, dimana ketujuh komponen tersebut sebenarnya pernah kita laksanakan dan itu tidak terhalang oleh lokasi maupun kondisi sekolah berada, hanya kadang penekanan dan intensitasnya yang kurang optimal. Tujuh komponen utama tersebut adalah :
1. Konstruktivisme ( Constructivism )
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam PBM. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Penerapan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari yaitu dalam merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide.
2. Menemukan (Inquiry)
Merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Langkah kegiatan ini adalah :
a. Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun).
b. Mengamati dan melakukan observasi.
c. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lain.
d. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain.
3. Bertanya (Questioning)
Merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Karena bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran, yaitu menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
4. Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen dengan bentuk yang sangat bervariasi, baik keanggotaan, jumlah bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya. Disini semua bisa berperan tanpa ada yang dominan dan saling melengkapi.
5. Pemodelan (Modelling)
Dalam sebuah pembelajaran ada model yang bisa ditiru. Model ini bisa siswa yang berprestasi, guru lain atau ahli lain yang sesuai bidang studi / mata pelajaran. Contoh : ahli ukir, reporter dan lain-lain.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Siswa memperluas pengetahuan yang dimiliki melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit, sementara guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.
Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melaksanakan refleksi. Realisasinya berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperolehnya hari ini, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan pesan / saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, hasil karya atau diskusi.
7. Penilaian yang sebenarnya (Assessment)
Yaitu proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Hal tersebut perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir periode tetapi dilakukan bersama-sama secara terintegrasi (tidak terpisahkan) di kegiatan pembelajaran. Jadi kemajuan belajar siswa tidak hanya dari hasil tetapi melalui proses. Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa adalah : PR, kuis, karya siswa, presentasi, laporan jurnal, karya tulis atau proyek kegiatan dan laporannya.
Hasil yang diharapkan dalam pembelajaran melalui Pendekatan Konstektual (CTL) antara lain adalah :
a. Siswa belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”.
b. Siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
c. Siswa terbiasa memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide.
d. Siswa menjadi aktif, kritis dan kreatif.
e. Kelas menjadi produktif, menyenangkan dan tidak membosankan.
f. Dinding kelas dan lorong-lorong sekolah penuh dengan hasil karya siswa, peta, gambar, artikel, puisi, foto tokoh dan lain-lain.
g. Siswa selalu dikepung berbagai informasi, kelas CTL adalah siswa yang selalu ramai dan gembira dalam belajar.
Prinsip Dasar Pembelajaran CTL
1. Menekankan pada pemecahan masalah.
2. Mengenal kegiatan mengajar yang terjadi di berbagai konteks seperti rumah, masyarakat dan tempat kerja.
3. Mengajar siswa untuk memantau dan mengarahkan belajarnya sehingga menjadi pembelajar yang aktif dan terkendali.
4. Menekankan pembelajaran dalam konteks kehidupan siswa.
5. Mendorong siswa belajar satu dan lainnya dan belajar bersama, dan menggunakan penilaian otentik.

E. Kesimpulan
Demikian salah satu metode pembelajaran IPS di SD melalui pendekatan CTL. Semoga dapat bermanfaat, dan guru dapat menambah variasi lain agar suasana pembelajaran menjadi lebih hidup (bermakna) sehingga siswa tidak menganggap IPS sebagai pelajaran hafalan dan mengingat. Tetapi justru belajar IPS adalah menyenangkan dan menantang. Oleh karena itu sangatlah diharapkan kreativitas guru dalam PBM / KBM, yang berdampak positif dalam peningkatan mutu pembelajaran yang pada akhirnya akan meningkatkan pula mutu pendidikan pada umumnya dalam upaya mensukseskan KTSP, karena dalam matrik pemetaan materi sangat memungkinkan sekali bahkan cocok dengan pendekatan CTL tersebut sehingga hasil yang akan dicapai sangat signifikan dengan penekanan maupun ciri-ciri dari pembelajaran dengan pendekatan CTL.
Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewsaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan anak akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan.
PUSTAKA
· www.Bangbinyoi.tk
· Depdiknas,Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan TK dan SD,2007, Pedoman penyuunan KTSP SD.Jakarta : Badan Standar Nsional Pendidikan
· Depdiknas Dirjen PMPTK , 2007, Landasan Konsep Prinsip dan Strategi PAKEM, Jakarta,Direktorat Pembinaan Diklat.
· Farris, P.J. and Cooper, S.M. (1994). Elementary Social Studies. Dubuque (terjemahan), USA : Brown Communications, Inc.
· Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
· Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
· Weton, D. A and Mallan, J.T. (1988). Children and Their World (terjemahan). Boston : Houghton Mifflin Co.
· *Widyaiswara LPMP Kalsel